by: Adja (1c;2c;3ipa3) – Guru Fave : Bu Fitri :)
Pa kabar rekans..? Alhamdulillah setelah 10 tahun yang panjang ini kita dapat dipertemukan kembali.. (menurut aku pribadi siy 10 tahun kemaren benar-benar tak ubahnya seperti setengah hari, run so fast..)
Thanx buat Yudhi-San “motosuki” yang udah nyediain blog ini buat kita semua. Thanx juga buat teman-teman yang masih nyempetin diri buat menggodok plan reuni ini, yang betah buat ngumpul nuangin ide di rumah Pak We reuni kite, Iim, every Sunday.
Wokeh, ini sedikit cerita masa lalu yang bagi penulis teramat manis kalo berlalu gitu aja. Cerita klasik tentang persahabatan.. senada dalam suara.. one in harmony.. yang takkan lekang.
Juli 1995
Seragam putih biru memenuhi sebagian gedung Smansa yang terkenal itu. Masa orientasi. Berbagai rupa makhluk-makhluk hidup alumnus almamater beberapa SMP di Pontianak, baik yang ngetop ataupun tidak (kgkgkgkg), berkumpul di koridor kelas-kelas penataran. Jelas sekali terdapat beberapa kelompok yang saling terpisah. Well, mereka belum saling kenal. Jadi cuma ngumpul sesama alumnus SMP masing-masing. Yang cowok mulai jelalatan. Menerawang koridor yang saat itu benar-benar menampakkan “aura”nya. Wuih, banyak cewek cakep, man! Masih bening-bening! (kalo udah lewat 13 taon gini, apa masih bening ya? Hehehe).
Katanya siy waktu itu masih aseli pabrikan, ori, high quality, buka bungkus. Ga kayak jaman sekarang yang udah banyak ga ori, udah pada keluaran piracy. Piracy, it’s a crime! Kalo ga piracy ya barang seken, sukur-sukur dapet yang masih ori. Itu juga udah diputar dibeberapa dvd merk cina (?????). Konsekuensi dari jaman yang udah serba high tech. Jaman degradasi.. (la dalah.., ngomong opo iki.. yo wis.., balik maning nang laptop..)
Masing-masing kelas saat itu dibimbing oleh para senior, kebanyakan dari anak kelas 3. Fisik, Bio, dan Sos, pada nyampur. Seminggu yang asing bagi para junior itu. Tapi juga asik. Asing yang asik. Yang menyenangkan bagi para pencari jati diri muda itu. Para siswa dikenalkan dengan kurikulum, materi P4-nya Oetojo Oesman (yang sekarang malah berkecimpung dalam dunia ESQ), dan yang paling menyita perhatian adalah kegiatan ekskul yang disediakan di SMU-nya sang walikota sekarang.
Ada paskibra, pramuka, sispala, FKMI, pers (masih ingat majalah Aksis???), silat (apa ya namanya.., pokoknya bela diri, pas dikenalin ada adegan memutar tongkat gitu..). Yang ga kalah seru, ajang tahunannya. Seperti class meeting, gerak jalan 45 km, dan at last but not least, festival band setiap tanggal 14 September (Huayo, ini tanggal apaan coba? Masih inget dunk!).
Festival band ini, bagiku, tak ubahnya seperti Woodstock 69-nya Hendrix, atau edisi 94 (waktu taon 95 itu masih anget) bagi band-band sekelas Extreme dan Metallica. Ajang panggung yang ditunggu para virtuoso kaliber dunia. Nah, festival Smansa ini seperti itulah tampaknya kira-kira bagi remaja belia innocent berusia 15 tahun yang jatuh cinta teramat dalam dengan musik, band dan sounding. Hal pertama yang ada di benakku adalah membentuk sebuah band. Aku cukup percaya diri, walaupun dengan kemampuan pas-pasan, karena sohibku semasa di band SMP, yaitu Nugie (nama ini asli terinspirasi dari Nugie adiknya Katon. Plagiat nehh?? Hehehe), bernama asli Nugroho Nur Arifin, siswa kelas Epf. Keyboardist yang bermain organ sejak SD dan sudah mengikuti lomba di kala anak seusianya asik ber-Sega dan Nintendo-ria, atau narik layangan. Such a young talent. Kalo aku sendiri, karena tadi itu, kemampuan yang pas-pasan, lebih memilih memainkan bass gitar. Lebih simpel, lagian cuma empat dawai (loooh, ini alasan yang sama dengan John Paul John, basisnya Led Zeppelin). Nah, sekarang tinggal melengkapi sisanya. Gitar, drum, dan vokal.
Kita kembali sebentar ke masa orientasi. It was the first day. Senin. Kelas Che. Masing-masing belum saling kenal. Hanya menegur teman-teman SMP ataupun SD yang bertemu kembali di SMA ini. Aku duduk sebangku dengan temanku di SMP 3, Tri Wijayadi (Rere- nama ini juga plagiat dengan drummernya Grass Rock). Saat kami semua udah ngumpul dalam kelas, panitia mengedarkan absensi. Ehh.., wuih!! Saat hendak membubuhkan tanda tangan di lembar absen, aku dan Rere kaget bukan kepalang karena di barisan atas kertas absen itu tertera tanda tangan seorang siswa-tepatnya bukan tanda tangan, tapi tulisan nama. Di absen itu tertulis coretan tanda tangan dengan huruf rangkai yang membentuk kata “Slash”. Slash adalah mahagitar saat itu, gitarisnya GNR. Rhytm-rhytm rock n roll easy dan hard listening yang diciptakannya telah membuat GNR menjadi band yang sempat dijuluki The Most Dangerous Band in the World (karena saking banyaknya fans, tiap konser rusuh mulu). Nah, bagi pandangan seorang anak band, tanda tangan itu benar-benar kelewatan. Bagaimana mungkin seseorang mengaku-ngaku sebagai seorang Slash? Sombong. Ekspresi fanatisme yang kelewatan dan kebablasan. Begitulah benak aku dan Rere mengatakannya. Kami mendongakkan kepala, mencari siapa kira-kira makhluk sombong ini. Kami mengurutkan meja sesuai baris absensi. Dapat. Seorang siswa cowok berbadan sedikit gempal. Wajahnya dingin. Kami membaca namanya, Ricky Benito Siahaan. (kelak, ia lebih senang dipanggil Benny). Kami bertanya-tanya, apa maksudnya ini.. dan siapa anak ini. We felt it’s freak. Other form of freak; preferred to freak of nature. Something like that..
*****
Ok, tentunya masih ingat dunk, kalo salah satu kegiatan yang harus dipersiapkan pada minggu pertama itu adalah lomba vokal group per kelas yang akan diperlombakan pada weekend-nya. Jadilah tiap sore hari, para junior itu berlatih giat, demi sebuah prestise, hehe..
Abi, bapak pramuka jebolan kelas Che itu, pada saat sore pertama latihan, membawa gitar. Gitar bolong yang keren, suaranya melenting banget. Boleh minjem. Ternyata sore itu adalah momentumnya. Dengan stylish, si “Slash” mengambil gitar tersebut, duduk dikursi paling belakang, ia mulai memetiknya, dan.. mengalirlah melodi-melodi gitar GNR, yang ternyata benar-benar sangat dihapal olehnya, yang tanpa cacat dimainkannya, tak ubahnya seperti kaset (waktu itu belum ada mp3 kalee), dengan hanya sebuah gitar bolong. He astonished us. Rere bergumam, “Ini siy tinggal dikasi efek jak niyy..!”. Gitarisnya udah ketemu! Sore itu aku langsung menelepon Nugie, mengkonfirmasikan penemuan ajaib ini. Nugie merespon dengan sangat antusias. Saat itu untuk mendapatkan gitaris berusia 15 tahun dengan talenta mumpuni sangatlah muskil di Pontianak.
Sekarang drum. Rere, teman sebangku-ku ini, yang emang bakat dan hobi ngedrum, ternyata punya skill unik. Dulu, drummerku waktu SMP, berlatih menggunakan bantal (karena ga mungkin rasanya pada masa itu untuk memiliki satu set drum). Uniknya Rere, dia tidak perlu bantal, atau alat bantu apapun. Cukuplah baginya mendengarkan target lagu, mengingat beat-beatnya, terutama yang khas, dan saat latihan, tidak ada masalah sama sekali. Sepp, Rere pun gabung. Tiga orang kelas Che (Aku, Benny, dan Rere) plus satu orang kelas Epf (Nugie). Tinggal audisi vokalis nehh..
September 1995
Musim hujan dimulai. Lapangan tengah sekolah tak pernah sempat benar-benar kering. Saat itu adalah masa-masa awal sekolah yang menyenangkan. Seragam juga udah dibagi. Bulu-bulu keriting dibetis udah ketutup sama celana panjang abu-abu. Dari segi performance, anak-anak cowok udah makin pede. Bulan ini bakalan diheld rangkaian acara ultah sekolah. Olahraga dan festival musik. Khusus festival musik, saingannya cukup beragam. Kelas 3 masih mendominasi. Pengalaman ngeband mereka juga udah terasah selama tiga tahun. Masing-masing jurusan memiliki talenta-talenta terbaik mereka. Merata untuk setiap posisi. Seyogyanya, peserta adalah perwakilan tiap kelas. Bagi kelas yang tidak mempunyai cukup personil, terpaksa tidak bisa ikut atau harus melakukan merger.
Kelasku bisa dibilang Che plus, karena menyertakan pemain keyboard dari kelas Epf, Nugie. Bulan ini juga posisi vokal sudah terisi. Abi, sang maestro lagu-lagu jalanan atau lagu “budak ngumpul”, terpilih untuk posisi vokal, tanpa melalui proses audisi, coz waktu yang sudah sangat mepet. Walaupun Abi masih malu-malu untuk mengeluarkan suaranya yang ballad itu, kami sudah berketetapan dengan formasi ini. Lagu yang kami pilih kemudian pun tidak tanggung-tanggung, “Sweet Child O’Mine”, yang waktu itu telah berusia sembilan tahun (sekarang udah 22 tahun! Jadul banget yach! –dalam kejadulannya, Slash, Duff dan Matt malah sempat bikin Velvet Revolver). Selama bulan ini, latihan-latihan buat persiapan pun mulai dilakoni. Studio yang diakrabi saat itu adalah Anida Studio, jalan Cendana. Hari demi hari dilalui dengan semangat nge-jam distudio. Kami juga sempat mencoba beberapa lagu. Dari Dewa 19 sampai Iron Maiden tak luput dari sasaran. Biasanya sebelum atau sesudah jam rental kami, selalu diisi sama kelas-kelas peserta lainnya. Waktu itu juga lagi ngetop-ngetopnya lagu-lagu GIGI dengan sang Baron.
*****
Tanggal 14. OMG, pagi itu perutku terasa mual. Nervous. Stage fright. Hari ini bakalan jadi saat pertama kali kami manggung. Juga buatku. Kami diam dikelas, disamping panggung. Sesekali melihat penampilan grup-grup peserta dari ventilasi kelas, sambil menunggu giliran panggilan dari MC. Akhirnya saat yang ditunggu itu pun datang. Undian kami dipanggil. Aku lupa nomor undian berapa, yang kuingat adalah bahwa aku gugup. Tanganku dingin sekali. Felt like Ice Man. Saat di panggung, MC membacakan judul lagu yang bakal kami mainkan. Seorang senior berteriak dari koridor, “Whooo.., lagu basi!!”. Huh, it’s not helping, man! Kami tetap pede maju, udah banyak waktu dan uang yang dikorbankan untuk penampilan perdana ini. Setelah semua personil siap diatas panggung yang kecil itu, Benny pun memulai opening solonya. Waktu berjalan lambat saat diatas panggung. Pelan merayap. Dan rasanya semua audiens dibawah dan dikoridor-koridor itu adalah dewan juri yang sangat pakar musik.
End of song. Ahh, performance yang buruk. Parah. Kami benar-benar nervous. Aku sama sekali tidak berani melihat audiens. Cuma diam ditempat (jika Duff hadir saat itu, doi bakal nyesel abis kenapa niy lagu bisa sampe Pontianak, hehe). Suara Abi sangkut, ga keluar. Stik drum Rere sempat terjatuh. Cuma Benny, ya, cuma dia yang pede abis. Pake jaket kulit, slayer hitam yang membungkus kepala, ditambah syal yang menggantung diujung leher gitar, Benny melakukan one man show dengan maju sampai kedepan panggung, menyayat audiens dengan lengkingan melodi dari efek Boss yang baru dibelinya, patungan dengan sang abang.